PARTISIPASI GEREJA DALAM POLITIK
I. PENDAHULUAN
Di dalam masa perkembangannya hingga dengan saat ini
pengertian politik semakin meluas dan melebar. Hal ini memiliki konsekuensi
logis terhadap dua pilihan dalam proses ”meluas dan melebar” tadi, yaitu apakah
pengertian politik akan semakin dianggap buruk atau sebaliknya dianggap sebagai
suatu bahagian hidup manusia yang tidak dapat dilepas pisahkan. Jika kita
mencoba menetapkan pada pilihan tadi, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa pengertian
politik saat ini semakin dianggap sebagai hal yang buruk, apalagi jika kita
menggunakan ”kacamata gereja” untuk menjawabnya.
Untuk itulah
perlu kita melihat dari dasar apa sebenarnya politik itu dan bagaimana fungsi
dari politik itu dalam kehidupan manusia dan kaitannya dengan gereja itu
sendiri. Sederhananya dalam pembahasan kita kali ini, kita akan mencoba
mengulas apakah gereja boleh berpolitik dan jika boleh sampai di mana peran
serta gereja dalam politik.
II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Politik
Menurut etimologi kata ’politik’ berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ’polis’, yang berarti kota atau negara. Aristoteles (384-322 SM)
adalah orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatan
tentang ”manusia yang pada dasarnya
adalah binatang politik”. Dalam hal ini Aristoteles ingin menjelaskan
hakikat kehidupan sosial yang sesungguhnya adalah politik, yang mana interaksi
satu sama lain dari dua orang atau lebih, sudah pasti melibatkan politik.[1]
Aristoteles melihat kecenderungan alami dari setiap manusia untuk bekerjasama
dengan orang lain untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka
berusaha meraih kesejahteraan pribadinya melalui sumber yang tersedia, dan akan
berupaya untuk mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka saat
itulah berjalan kegiatan politik. Selanjutnya Aristoteles dalam kesimpulan
mengatakan bahwa ”politik” merupakan satu-satunya cara untuk memaksimalkan
kemampuan seseorang atau individu untuk mencapai kehidupan sosial yang
tertinggi melalui interaksi politik dengan orang lain dalam suatu kerangka
kelembagaan.[2]
Menurut KBBI, pengertian politik adalah pengetahuan
ketata-negaraan atau kenegaraan (seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar
pemerintahan, segala urutan dan tindakan atau kebijaksanaan mengenai
pemerintahan suatu negara).[3]
Pengertian politik secara umum dapat dikatakan: politik ialah berbagai kegiatan
dalam suatu sistem poltik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan
dari sistem politik atau nagara itu tidak dapat dipisahkan dari pemilihan
antara beberapa alternatif dan penentuan urutan prioritas. Sedangkan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itupun diperlukan kebijakan-kebijakan umum (public
policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian atau lokasi dari sumber-sumber
yang ada.[4]
Jadi dapat disimpulkan bahwa politik adalah suatu seni
manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu, atau suatu tujuan untuk
mendirikan suatu negara dalam suatu lembaga tertentu, yaitu negara yang adil,
damai dan sejahtera.
2.2. Pengertian Gereja.
Menurut KBBI, ”gereja’ adalah suatu gedung tempat berdoa
dan melakukan upacara keagamaan Kristen.[5]
Sedangkan menurut Ensiklopedia Alkitab, gereja adalah ”ekklesia” yang artinya
tempat pertemuan atau sidang (jemaat).[6]
Gereja di sini lebih mengandung arti
”tempat pertemuan” dari pada ”organisasi” atau ”masyarakat”.[7] Pada
umumnya kata ini di pakai bagi sidang umum dari penduduk yang dikumpulkan
secara resmi khususnya dalam penyampaian Injil. Jadi dengan kata lain, gereja
adalah suatu tempat pertemuan bagi orang-orang Kristen untuk mendapatkan Injil.
2.3. Hubungan Politik dan Gereja
Menurut Calvin, gereja langsung dibawahi oleh Tuhan, Raja
dari segala raja yang ada di dunia. Calvin memiliki prinsip mengenai gereja dan
negara, dia berpandangan bahwa ”hendaknya gereja tetap tunggal gereja dan
hendaknya negara tetap tunggal negara. Bukan bersifat subordinasi (di bawah
oleh), melainkan luxtaposisi (duduk) berdampingan dan kooperasi (kerja sama).
Intinya hubungan gereja dan negara tidak ada hubungan tinggi-rendah, melainkan
hidup berdampingan dengan tujuan yang sama, yaitu men-sejahterakan semua umat
manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa gereja adalah :
-
Mengakui
eksistensi dan fungsi negara sebagai alat-alat untuk mencegah/menghukum
kejahatan dan mengusahakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Dalam melaksanakan
fungsinya negara diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan dalam suatu negara.
-
Gereja
menyadari dan mewaspadai potensi serta kecenderungan negara untuk menyalahgunakan
wewenang.
-
Gereja harus
ikut menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, melalui suatu
kekuasaan pemerintah negara yang efektif. Namun gereja juga harus ikut dalam
mencegah segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara dan menentang segala
bentuk kekuasaan negara yang atoriter melainkan kekuasaan negara itu harus
tunduk kepada hukum yang mengutamakan kepentingan rakyatnya. Dan hukum harus
menjamin dan mengatur fungsi kekuasaan yang jelas, antara kewenangan dan
otonomi yang ada pada individu masyarakat dan negara.
2.4. Partisipasi Gereja Dalam Politik
Banyak
orang berpandangan bahwa sebagai gereja hanyalah untuk mengurusi hal-hal rohani
saja. Mereka tidak perlu mengetahui masalah-masalah material dan politik.
Pandangan mereka tertuju ke atas (memikirkan dunia baru) tanpa ikut memikirkan
akan kehidupan semasa di dunia ini. Tapi sebenarnya bukanlah demikian. Walaupun
orang-orang Kristen atau gereja mengambil jarak terhadap politik bukan
sebenarnya gereja itu tidak perduli terhadap politik, gereja sesungguhnya
mempunyai pendirian-pendirian politik. Ini dapat kita lihat di dalam Roma 13,
di mana Paulus menyerukan agar taat terhadap pemerintahan Romawi.[8] Dalam
pemahaman ini gereja yang adalah bagian dari suatu negara (karena hidup dalam
negara), maka sudah pasti ikut bertanggungjawab terhadap negara itu sendiri.[9] Peran
sertanya dalam politik bukanlah terlibat langsung dalam politik praktis tapi
berada di luar garis politik itu. Berdiri di luar garis politik bukan berarti anti terhadap politik, tetapi
tidak terkontaminasi oleh permainan politik itu dan mampu memposisikan diri
sebagai pengontrol dalam permainan politik itu.
Di
dalam Perjanjian Lama juga menerangkan ada beberapa tokoh politik, di antaranya
Nabi Daniel dan Nehemia, padahal tugas Nabi adalah sebagai perpenjangan tangan
Allah kepada umatNya. Mengapa mereka dikatakan terlibat langsung kerena pada
masa pembuangan di Babel Daniel diangkat Raja Nebudkadnezar menjadi abdi pada
istrinya (Dan. 1 3-5) begitu juga dengan Nehemia yang bekerja dalam negara
sebagai Bupati di tanah Yehuda. Ia adalah seorang pegawai di dalam Istana raja
Artasasta, ia di suruh ke Yerusalem untuk membangun kota (1: 1-2, 10), Nehemia
memeriksa tembok-tembok kota Yerusalem (2: 11-22) dan memperbaikinya (ps. 3).
Walaupun di dalam pekerjaannya Nehemia ditentang oleh bangsa-bangsa dan
pembesar-pembesar di sekitar Yehuda (ps. 4) tetapi Nehemia mengambil tindakan
untuk melindungi orang-orang miskin (ps. 5). Di dalam kehidupan Yesus juga kita
dapat lihat hubungannya dengan politik, di mana Yesus berseru kepada kalangan
Farisi dan Herodian “ berikan kepada Kaisar apa yang wajib kami berikan
kepadanya” (Mark. 12:13-17, Mat 22: 15-22, Luk. 20: 22-26).
Kecenderungan saat ini sering terjadi gereja menutup diri
terhadap politik itu sendiri, alhasil gereja menjadi elemen yang kurang peka
terhadap kehidupan sosial masyarakat. Padahal gereja haruslah juga melihat
kehidupan umatNya (dalam konsep pluralisme; bukan hanya kehidupan orang Kristen
saja, melainkan seluruh umat manusia), menyampaikan suara kenabiannya di tengah-tengah kemelut dunia. Oleh karena itu,
bagaimana mungkin gereja mampu untuk berbicara tentang kemiskinan,
ketertindasan, kesewenang-wenangan, atau masalah-masalah sosial lainnya jika
gereja sendiri menutup diri terhadap politik. Gereja harus berbicara tentang
persoalan-persoalan tadi, akan tetapi bentuk keterlibatannya juga haruslah
memiliki batasan-batasan tertentu agar nantinya tidak terlibat langsung dalam
percaturan politik tersebut.
2.5. Politik Menurut Etika Kristen
Banyak rumusan yang yang menyatakan bahwa etika
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Di dalamnya terkandung sifat
aspek manusia (human character) yang kadangkala digabungkan dengan aspek moral
yang mendasari tingkah laku manusia. Agaknya masih sulit mendapatkan suatu
rumusan yang pas (benar), karenanya rumusan etika itu lebih baik bersifat
deskriptif daripada dalam bentuk rumusan yang mutlak. Berdasarkan uraian di
atas pengertian terhadap etika politik dapat dijelaskan yaitu: suatu penelitian
kristis terhadap moralitas anggota masyarakat dan moralitas yang terkandung
pada setiap proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan tanggungjawabnya pada
suatu masyarakat atau negara yang meliputi struktur kekuasaan, partisipasi di
dalam berbagai situasi yaitu masyarakat plural, sosialist.[10]
Jelasnya etika politik akan senantiasa memasuki cakupan pertanyaan moral di
dalam dimensi politis kehidupan manusia yang menyangkut masalah hukum.
Kita pasti pernah mendengar pendapat bahwa orang-orang
Kristen dan gereja-gereja harus aktif berpolitik, walaupun pengertiannya tidak
berpolitik praktis, atau dengan kata lain gereja atau orang Kristen dapat
menyoroti dunia politik yang sedang berlangsung dan ikut mengambil sikap
terhadap politik. Sikap politik maksudnya di sini adalah bukan harus menjadi
anggota partai politik dan memperjuangkan aspirasi partai, tetapi maksudnya di
sini perduli terhadap politik. Karena menurut pengalaman pada masa zaman orde
baru orang-orang Kristen dan gereja kurang perduli terhadap politik; akibatnya
kepentingan kekristenan selalu saja dirugikan oleh karena itulah orang kristen
dan gereja diminta untuk dapat mengambil bagian atau sikap yang baru supaya
kepentingan Kristen lebih dapat diperjuangkan dengan hasil yang lebih baik.
Orang Kristen dan persekutuan-persekutuan Kristen atau gereja memang harus
lebih sadar politik apalagi dalam
rangka menghadapi era reformasi yang penuh dengan gejolak politik, akibat
krisis perekonomian dan kerusakan-kerusakan sosial.[11]
Karena ada sebahagian orang atau anggota jemaat yang
menganggap bahwa politik tidak pantas dilakukan oleh gereja karena politik itu
dianggap adalah bagian dari negara dan bukan bagian dari gereja. Pemahaman yang
seperti inilah yang perlu dibenahi karena kaum awam menganggap bahwa politik
itu adalah sesuatu yang kotor atau
sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh gereja, di mana gereja hanya bertugas
sebagai pembawa damai saja. Alasannya politik itu identik dengan kekerasan,
kekuasaan, kebebasan tanpa batas dan kotor. Sehingga muncullah pertanyaan
”kenapa gereja harus berpolitik?”
Politik adalah sesuatu yang berhubungan dengan negara dan
gereja berdiri dalam suatu negara tetapi gereja dan negara tidak satu, namun
gereja juga berhak mengetahui perkembangan negara, baik itu perkembangan
sosial, ketatanegaraan (MPR, DPR, partai-partai, dan pemerintah), kepemimpinan.
Tetapi pemerintahan gereja dan negara tidak dapat disatukan karena misi gereja
dan negara berbeda. Adapun yang menjadi dasar gereja berpolitik yaitu: gereja
bertugas mengungkapkan dasar-dasar iman dan nilai-nilai moral kristiani yang
harus melandasi praktek kehidupan politik di lapangan dan itu menjadi wewenang
agama terhadap negara.[12]
III. Kesimpulan
Gereja tidak dapat dilepas pisahkan dari negara, untuk
itulah gereja tidak dapat lepas dari politik. Gereja dapat berpolitik akan
tetapi bukanlah politik praktis. Gereja sebagai bagian dari negara haruslah
juga melihat fungsi dari ketata-negaraan, apakah memang pemerintah dalam negara
benar-benar menjalankan tugas dan mengeluarkan kebijakan-kebijakannya yang
memang berpihak kepada rakyat. Dan jikalau pemerintah tidak berpihak kepada rakyatnya, maka gereja
dalam hal ini haruslah juga mampu menyampaikan aspirasi dari rakyat sebagai
wujud dari suara kenabiannya.
Gereja juga wajib untuk bersama-sama dengan negara dalam
menyukseskan suatu pemerintahan yang adil dan makmur terhadap rakyatnya. Dalam
hal ini gereja juga harus berbicara terhadap persoalan-persoalan negara, baik
itu kemiskinan, keterbelakangan dan lain sebagainya.
IV. Daftar Pustaka
_____________, Alkitab, Jakarta: LAI, 2001.
_____________, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini,
Jakarta: YKBK/OMF, 2001.
_____________, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
A.A.
Yewangoe, Agama-Agama Dan Kerukunan,
Jakarta: BPK-GM, 2001.
Sopatar, Sularso (Peny), Peran Serta Gereja Dalam Pembangunan
Nasional, Jakarta: Bidang Pembinaan Gerejawi Di Tengah Masyarakat, 1998.
Sirait, Saut, Politik Kristen Di Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 2001.
Singgih, Pdt Emanuel
Gerrit, Iman Dan Politik Dalam Era
Reformasi Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2000.
Djiwandono, J. Soedjati, Gereja Dan Politik, Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Carltan Ciymer Rodoe, Can
Qumby Christon, Totton James Anderson, Thomas H. Greene, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
[1] Carltan Ciymer Rodoe, Can Qumby Christon, Totton
James Anderson, Thomas H. Greene, Pengantar
Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1
[2] Ibid,
hlm. 2
[3] KBBI,
hal. 694
[4] Mariam Budiarjo, Pengantar
Ilmu Politik, Jakarta :
Karunika, 1986, hlm 14
[5] Ibid,
hlm. 272
[6] Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini Jilid I, Jakarta: YKBK/OMF, 2001, hlm.
[7] Walaupun pada dasarnya pemahaman ini dalam
perkembangannya masih perlu di telaah ulang. Hal ini dapat dilihat dari
pengertian dasar dari organisasi, yaitu di mana dua atau lebih manusia
berkumpul dan memiliki satu tujuan yang sama telah dapat dikatakan gereja. Jika
di coba dibandingkan dengan gereja secara sebuah kumpulan maka sederhanyanya
gereja secara tidak langsung dapat juga disebut sebagai sebuah organisasi.
[8] A.A. Yewangoe, Agama-Agama Dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 164
[9] Pengertian Negara dalam hal ini menyangkut pemerintah, rakyat,
serta elemen-elemen lain di dalamnya.
[10] Koson S. Risan (ed), Perpectives
Of Political ethic, Washinton :
Georgetown University Press, hlm. 10-11.
[11] Pdt. Emaneul G. Singgih, Ph.D, Iman Dan Politik Dalam Era Reformasi,
Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 27.
[12] J. Soedjati Djwandono, Gereja Dan Politik Dari Orde Baru Ke Reformasi, Yogyakarta:
Kanisius, 1999, hlm. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar