Selasa, 19 Maret 2013

Partisipasi Gereja Dalam Politik


PARTISIPASI GEREJA DALAM POLITIK


 



I. PENDAHULUAN
            Di dalam masa perkembangannya hingga dengan saat ini pengertian politik semakin meluas dan melebar. Hal ini memiliki konsekuensi logis terhadap dua pilihan dalam proses ”meluas dan melebar” tadi, yaitu apakah pengertian politik akan semakin dianggap buruk atau sebaliknya dianggap sebagai suatu bahagian hidup manusia yang tidak dapat dilepas pisahkan. Jika kita mencoba menetapkan pada pilihan tadi, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa pengertian politik saat ini semakin dianggap sebagai hal yang buruk, apalagi jika kita menggunakan ”kacamata gereja” untuk menjawabnya.
               Untuk itulah perlu kita melihat dari dasar apa sebenarnya politik itu dan bagaimana fungsi dari politik itu dalam kehidupan manusia dan kaitannya dengan gereja itu sendiri. Sederhananya dalam pembahasan kita kali ini, kita akan mencoba mengulas apakah gereja boleh berpolitik dan jika boleh sampai di mana peran serta gereja dalam politik.
 
II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Politik
            Menurut etimologi kata ’politik’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ’polis’, yang berarti kota atau negara. Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatan tentang ”manusia yang pada dasarnya adalah binatang politik”. Dalam hal ini Aristoteles ingin menjelaskan hakikat kehidupan sosial yang sesungguhnya adalah politik, yang mana interaksi satu sama lain dari dua orang atau lebih, sudah pasti melibatkan politik.[1] Aristoteles melihat kecenderungan alami dari setiap manusia untuk bekerjasama dengan orang lain untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadinya melalui sumber yang tersedia, dan akan berupaya untuk mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka saat itulah berjalan kegiatan politik. Selanjutnya Aristoteles dalam kesimpulan mengatakan bahwa ”politik” merupakan satu-satunya cara untuk memaksimalkan kemampuan seseorang atau individu untuk mencapai kehidupan sosial yang tertinggi melalui interaksi politik dengan orang lain dalam suatu kerangka kelembagaan.[2]
            Menurut KBBI, pengertian politik adalah pengetahuan ketata-negaraan atau kenegaraan (seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, segala urutan dan tindakan atau kebijaksanaan mengenai pemerintahan suatu negara).[3] Pengertian politik secara umum dapat dikatakan: politik ialah berbagai kegiatan dalam suatu sistem poltik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem politik atau nagara itu tidak dapat dipisahkan dari pemilihan antara beberapa alternatif dan penentuan urutan prioritas. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itupun diperlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian atau lokasi dari sumber-sumber yang ada.[4]
            Jadi dapat disimpulkan bahwa politik adalah suatu seni manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu, atau suatu tujuan untuk mendirikan suatu negara dalam suatu lembaga tertentu, yaitu negara yang adil, damai dan sejahtera.

2.2. Pengertian Gereja.
            Menurut KBBI, ”gereja’ adalah suatu gedung tempat berdoa dan melakukan upacara keagamaan Kristen.[5] Sedangkan menurut Ensiklopedia Alkitab, gereja adalah ”ekklesia” yang artinya tempat pertemuan atau sidang (jemaat).[6] Gereja di sini lebih mengandung arti  ”tempat pertemuan” dari pada ”organisasi” atau ”masyarakat”.[7] Pada umumnya kata ini di pakai bagi sidang umum dari penduduk yang dikumpulkan secara resmi khususnya dalam penyampaian Injil. Jadi dengan kata lain, gereja adalah suatu tempat pertemuan bagi orang-orang Kristen untuk mendapatkan Injil.


2.3. Hubungan Politik dan Gereja
            Menurut Calvin, gereja langsung dibawahi oleh Tuhan, Raja dari segala raja yang ada di dunia. Calvin memiliki prinsip mengenai gereja dan negara, dia berpandangan bahwa ”hendaknya gereja tetap tunggal gereja dan hendaknya negara tetap tunggal negara. Bukan bersifat subordinasi (di bawah oleh), melainkan luxtaposisi (duduk) berdampingan dan kooperasi (kerja sama). Intinya hubungan gereja dan negara tidak ada hubungan tinggi-rendah, melainkan hidup berdampingan dengan tujuan yang sama, yaitu men-sejahterakan semua umat manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa gereja adalah :
-          Mengakui eksistensi dan fungsi negara sebagai alat-alat untuk mencegah/menghukum kejahatan dan mengusahakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Dalam melaksanakan fungsinya negara diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan dalam suatu negara.
-          Gereja menyadari dan mewaspadai potensi serta kecenderungan negara untuk menyalahgunakan wewenang.
-          Gereja harus ikut menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, melalui suatu kekuasaan pemerintah negara yang efektif. Namun gereja juga harus ikut dalam mencegah segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara dan menentang segala bentuk kekuasaan negara yang atoriter melainkan kekuasaan negara itu harus tunduk kepada hukum yang mengutamakan kepentingan rakyatnya. Dan hukum harus menjamin dan mengatur fungsi kekuasaan yang jelas, antara kewenangan dan otonomi yang ada pada individu masyarakat dan negara.

2.4. Partisipasi Gereja Dalam Politik
Banyak orang berpandangan bahwa sebagai gereja hanyalah untuk mengurusi hal-hal rohani saja. Mereka tidak perlu mengetahui masalah-masalah material dan politik. Pandangan mereka tertuju ke atas (memikirkan dunia baru) tanpa ikut memikirkan akan kehidupan semasa di dunia ini. Tapi sebenarnya bukanlah demikian. Walaupun orang-orang Kristen atau gereja mengambil jarak terhadap politik bukan sebenarnya gereja itu tidak perduli terhadap politik, gereja sesungguhnya mempunyai pendirian-pendirian politik. Ini dapat kita lihat di dalam Roma 13, di mana Paulus menyerukan agar taat terhadap pemerintahan Romawi.[8] Dalam pemahaman ini gereja yang adalah bagian dari suatu negara (karena hidup dalam negara), maka sudah pasti ikut bertanggungjawab terhadap negara itu sendiri.[9] Peran sertanya dalam politik bukanlah terlibat langsung dalam politik praktis tapi berada di luar garis politik itu. Berdiri di luar garis politik  bukan berarti anti terhadap politik, tetapi tidak terkontaminasi oleh permainan politik itu dan mampu memposisikan diri sebagai pengontrol dalam permainan politik itu.
Di dalam Perjanjian Lama juga menerangkan ada beberapa tokoh politik, di antaranya Nabi Daniel dan Nehemia, padahal tugas Nabi adalah sebagai perpenjangan tangan Allah kepada umatNya. Mengapa mereka dikatakan terlibat langsung kerena pada masa pembuangan di Babel Daniel diangkat Raja Nebudkadnezar menjadi abdi pada istrinya (Dan. 1 3-5) begitu juga dengan Nehemia yang bekerja dalam negara sebagai Bupati di tanah Yehuda. Ia adalah seorang pegawai di dalam Istana raja Artasasta, ia di suruh ke Yerusalem untuk membangun kota (1: 1-2, 10), Nehemia memeriksa tembok-tembok kota Yerusalem (2: 11-22) dan memperbaikinya (ps. 3). Walaupun di dalam pekerjaannya Nehemia ditentang oleh bangsa-bangsa dan pembesar-pembesar di sekitar Yehuda (ps. 4) tetapi Nehemia mengambil tindakan untuk melindungi orang-orang miskin (ps. 5). Di dalam kehidupan Yesus juga kita dapat lihat hubungannya dengan politik, di mana Yesus berseru kepada kalangan Farisi dan Herodian “ berikan kepada Kaisar apa yang wajib kami berikan kepadanya” (Mark. 12:13-17, Mat 22: 15-22, Luk. 20: 22-26).
            Kecenderungan saat ini sering terjadi gereja menutup diri terhadap politik itu sendiri, alhasil gereja menjadi elemen yang kurang peka terhadap kehidupan sosial masyarakat. Padahal gereja haruslah juga melihat kehidupan umatNya (dalam konsep pluralisme; bukan hanya kehidupan orang Kristen saja, melainkan seluruh umat manusia), menyampaikan suara kenabiannya di tengah-tengah kemelut dunia. Oleh karena itu, bagaimana mungkin gereja mampu untuk berbicara tentang kemiskinan, ketertindasan, kesewenang-wenangan, atau masalah-masalah sosial lainnya jika gereja sendiri menutup diri terhadap politik. Gereja harus berbicara tentang persoalan-persoalan tadi, akan tetapi bentuk keterlibatannya juga haruslah memiliki batasan-batasan tertentu agar nantinya tidak terlibat langsung dalam percaturan politik tersebut.  


2.5. Politik Menurut Etika Kristen
            Banyak rumusan yang yang menyatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Di dalamnya terkandung sifat aspek manusia (human character) yang kadangkala digabungkan dengan aspek moral yang mendasari tingkah laku manusia. Agaknya masih sulit mendapatkan suatu rumusan yang pas (benar), karenanya rumusan etika itu lebih baik bersifat deskriptif daripada dalam bentuk rumusan yang mutlak. Berdasarkan uraian di atas pengertian terhadap etika politik dapat dijelaskan yaitu: suatu penelitian kristis terhadap moralitas anggota masyarakat dan moralitas yang terkandung pada setiap proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan tanggungjawabnya pada suatu masyarakat atau negara yang meliputi struktur kekuasaan, partisipasi di dalam berbagai situasi yaitu masyarakat plural, sosialist.[10] Jelasnya etika politik akan senantiasa memasuki cakupan pertanyaan moral di dalam dimensi politis kehidupan manusia yang menyangkut masalah hukum.
            Kita pasti pernah mendengar pendapat bahwa orang-orang Kristen dan gereja-gereja harus aktif berpolitik, walaupun pengertiannya tidak berpolitik praktis, atau dengan kata lain gereja atau orang Kristen dapat menyoroti dunia politik yang sedang berlangsung dan ikut mengambil sikap terhadap politik. Sikap politik maksudnya di sini adalah bukan harus menjadi anggota partai politik dan memperjuangkan aspirasi partai, tetapi maksudnya di sini perduli terhadap politik. Karena menurut pengalaman pada masa zaman orde baru orang-orang Kristen dan gereja kurang perduli terhadap politik; akibatnya kepentingan kekristenan selalu saja dirugikan oleh karena itulah orang kristen dan gereja diminta untuk dapat mengambil bagian atau sikap yang baru supaya kepentingan Kristen lebih dapat diperjuangkan dengan hasil yang lebih baik. Orang Kristen dan persekutuan-persekutuan Kristen atau gereja memang harus lebih sadar politik apalagi dalam rangka menghadapi era reformasi yang penuh dengan gejolak politik, akibat krisis perekonomian dan kerusakan-kerusakan sosial.[11]
            Karena ada sebahagian orang atau anggota jemaat yang menganggap bahwa politik tidak pantas dilakukan oleh gereja karena politik itu dianggap adalah bagian dari negara dan bukan bagian dari gereja. Pemahaman yang seperti inilah yang perlu dibenahi karena kaum awam menganggap bahwa politik itu adalah sesuatu yang kotor atau sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh gereja, di mana gereja hanya bertugas sebagai pembawa damai saja. Alasannya politik itu identik dengan kekerasan, kekuasaan, kebebasan tanpa batas dan kotor. Sehingga muncullah pertanyaan ”kenapa gereja harus berpolitik?”
            Politik adalah sesuatu yang berhubungan dengan negara dan gereja berdiri dalam suatu negara tetapi gereja dan negara tidak satu, namun gereja juga berhak mengetahui perkembangan negara, baik itu perkembangan sosial, ketatanegaraan (MPR, DPR, partai-partai, dan pemerintah), kepemimpinan. Tetapi pemerintahan gereja dan negara tidak dapat disatukan karena misi gereja dan negara berbeda. Adapun yang menjadi dasar gereja berpolitik yaitu: gereja bertugas mengungkapkan dasar-dasar iman dan nilai-nilai moral kristiani yang harus melandasi praktek kehidupan politik di lapangan dan itu menjadi wewenang agama terhadap negara.[12]

III. Kesimpulan
            Gereja tidak dapat dilepas pisahkan dari negara, untuk itulah gereja tidak dapat lepas dari politik. Gereja dapat berpolitik akan tetapi bukanlah politik praktis. Gereja sebagai bagian dari negara haruslah juga melihat fungsi dari ketata-negaraan, apakah memang pemerintah dalam negara benar-benar menjalankan tugas dan mengeluarkan kebijakan-kebijakannya yang memang berpihak kepada rakyat. Dan jikalau pemerintah  tidak berpihak kepada rakyatnya, maka gereja dalam hal ini haruslah juga mampu menyampaikan aspirasi dari rakyat sebagai wujud dari suara kenabiannya.
            Gereja juga wajib untuk bersama-sama dengan negara dalam menyukseskan suatu pemerintahan yang adil dan makmur terhadap rakyatnya. Dalam hal ini gereja juga harus berbicara terhadap persoalan-persoalan negara, baik itu kemiskinan, keterbelakangan dan lain sebagainya.

IV. Daftar Pustaka  

_____________, Alkitab, Jakarta: LAI, 2001.
_____________, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta: YKBK/OMF, 2001.
_____________, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
A.A. Yewangoe, Agama-Agama Dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2001.
Sopatar, Sularso (Peny), Peran Serta Gereja Dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: Bidang Pembinaan Gerejawi Di Tengah Masyarakat, 1998.
Sirait, Saut, Politik Kristen Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2001.
Singgih, Pdt Emanuel Gerrit, Iman Dan Politik Dalam Era Reformasi Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2000.
Djiwandono, J. Soedjati, Gereja Dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Carltan Ciymer Rodoe, Can Qumby Christon, Totton James Anderson, Thomas H. Greene, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.


[1] Carltan Ciymer Rodoe, Can Qumby Christon, Totton James Anderson, Thomas H. Greene, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 2
[3] KBBI, hal. 694
[4] Mariam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Karunika, 1986, hlm 14
[5] Ibid, hlm. 272
[6] Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I, Jakarta: YKBK/OMF, 2001, hlm. 
[7] Walaupun pada dasarnya pemahaman ini dalam perkembangannya masih perlu di telaah ulang. Hal ini dapat dilihat dari pengertian dasar dari organisasi, yaitu di mana dua atau lebih manusia berkumpul dan memiliki satu tujuan yang sama telah dapat dikatakan gereja. Jika di coba dibandingkan dengan gereja secara sebuah kumpulan maka sederhanyanya gereja secara tidak langsung dapat juga disebut sebagai sebuah organisasi.
[8] A.A. Yewangoe, Agama-Agama Dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 164
[9] Pengertian Negara dalam hal ini menyangkut pemerintah, rakyat, serta elemen-elemen lain di dalamnya.
[10] Koson S. Risan (ed), Perpectives Of  Political ethic, Washinton : Georgetown University Press, hlm. 10-11.
[11] Pdt. Emaneul G. Singgih, Ph.D, Iman Dan Politik Dalam Era Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 27.
[12] J. Soedjati Djwandono, Gereja Dan Politik Dari Orde Baru Ke Reformasi, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar